UNPAS Gelar Diskusi Panel Tema “Extra Judicial Killing”

FAKULTAS Hukum Unpas menggelar diskusi panel bertema “Extra Judicial Killing : Perlukah Penyidikan Lanjutan?” bertempat di Aula Suradiredja Kampus Unpas Jl.Lengkong Bandung Jum’at (23/9/2022).

Ada empat narasumber dalama acara tersebut diantaranya Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid, Solaeman Pontoh Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis dan Wakil Dekan I FH Unpas Hj. Rd. Dewi Asri Yustia.

Acara tersebut juga dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Prof Dr. Asep N. Mulyana yang juga sebagai akademisi, Perwakilan dari Polda Jabar dan mahasiswa FH Unpas.

Salah satu narasumber dalam acara diskusi panel sekaligus Ketua Komisi Kejaksaan RI, Dr. Barita Simanjuntak, SH., MH., CfrA. mengatakan bahwa berdasarkan penelitian LBH Jakarta dan MAPPI FH Ul pada kurun waktu 2012 sampai dengan 2014 ditemukan terdapat sejumlah 255.618 berkas perkara yang tidak diikuti dengan SPDP dan 44.273 berkas perkara yang hilang di penyidikan.

Penelitian MAPPI FH Ul menunjukkan Kesenjangan antara jumlah kasus yang diterima kepolisian, jumlah kasus disidik, jumlah kasus yang dihentikan dan jumlah kasus yang dianggap selesai oleh kepolisian yang ah dianggap lengkap.

“Berdasarkan pengaturan penyidikan lanjutan dalam hukum positif yaitu dalam konteks penegakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), terdapat substansi hukum yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan Penyidikan,” tutur Barita

Adapun untuk Pasal 39 huruf b yang menyatakan bahwa dalam hal hasil Penyidikan belum lengkap, Penuntut Umum wajib melakukan Penyidikan paling lama 20 hari dapat diperpanjang paling lama 30 hari.

“Penyidikan ini biasa diistilahkan sebagai penyidikan lanjutan. Kewenangan Penyidikan oleh Penuntut Umum ini merupakan terobosan hukum untuk meminimalisir bolak-baliknya berkas perkara dalam penanganan tindak pidana perusakan hutan,” ungkapnya.

Terkait rekonsepsi hubungan penyidik dan penuntut, ia menambahkan bahwa penyidik dan penuntut umum adalah satu kesatuan nafas dalam proses penuntutan yang tak dipisahkan.

Ia menambahkan bahwa penyidikan dan penuntutan bukan suatu proses check and balance karena segala hasil dari penyidik, baik dan buruknya, salah benarnya penyidik dalam melakukan proses penyidikan dan segala jenis penyidikan seluruhnya akan menjadi tanggung jawab penuh Jaksa Penuntut Umum ketika perkara tersebut dihadirkan ke ruang persidangan untuk dipertahankan.

“Check and balance sejatinya berada di pengadilan yang merupakan ujung dari penyelesaian perkara pidana dalam menguji kebenaran atas fakta-fakta hukum yang diajukan. Hasil pekerjaan dan penuntut umum adalah satu kesatuan bagi premis tesis yang akan di check and balance kan dari bantahan penasihat hukum sebagai antitesis, kemudian hakimlah yang akan memeriksa dan mengadilinya sebagai sintesis,” tandasnya.

Barita Simanjuntak menambahkan bahwa dalam penyelesaian kasus perlu adanya peranan institusi yaitu aparat penegak hukum dalam hal ini adalah Kejaksaan karena memang telah memiliki payung hukum.

“Inilah yang memungkinkan tegaknya hukum dari sebuah kasus, untuk memperkuat peranan, sehingga ada fungsi evaluasi dan mampu membuat hukum dan keadilan bisa berdiri dengan tegak,” tutupnya.(Yara)

dialogpublik.com