Rumah Sakit Borromeous Bandung Di Meja Hijaukan

SIDANG gugatan  perkara Perdata  antara Penggugat  Pontas F Sianturi melawan  tergugat 1. Direktur RS. Borromeous Bandung  dan tergugat 2. Komite Medik RS. Borromeous Bandung.

Sidang yang di Pimpin oleh ketua majelis Hakim  Sontan Merauke Sinaga SH MH, di gelar di R.3 Pengadilan Negeri Bandung. Selasa ( 13/12/2022).

Didalam gugatan bahwa RS. Borromeous telah lalai dalam menangani pasien  (alm) Febriani Valentina yang mengakibatkan pasien meninggal Dunia.

Menurut Johnson  RS. Borromeous  telah melanggar kode etik hukum kesehatan  yang mengacu pada UU Kesehatan  Peraturan Menteri No.290 tahun 2008 yang menyebutkan segala tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis dari pihak keluarga pasien.

Sebelum persidangan di mulai ada suatu pemandangan yang cukup menarik perhatian pengunjung sidang, yang mana Penasehat hukum dari keluarga korban  Johnson Siregar sempat ngotot kepada ketua majelis Hakim yang memper debatkan tentang  Pasal 145 HIR yaitu dalam persidangan perdata tidak boleh ada kaitan nya seperti anak dan istri untuk memberikan kesaksian akan tetapi  Majelis akan tetap berpegang pada aturan yang ada tegas nya.

Setelah majelis memperlihat kan buku acuan yang mana pada pasal ke 2 diperbolehkan keluarga memberikan keterangan akan tetapi tidak di lakukan sumpah dengan resiko, jika ada kebohongan di dalam kesaksian ada resiko hukum nya tegas Hakim.

Akhirnya persidangan bisa di mulai yang di hadirkan sebagai saksi 1 yaitu Rediroro (kakak korban) saksi 2. Lamaori Aritonang (ibu korban)

Johnson mengungkapkan bahwa yang mengantar mendiang Febriani Valentine untuk periksa di Rumah Sakit Boromeus karena mengeluh batuk-batuk, adalah keluarganya yakni Ayah, Ibu dan Saudara lelaki korban. Dan tentunya, merekalah yang dapat menceritakan sebagai kesaksian di pengadilan terkait awal masuk RS Boromeus hingga pasien dinyatakan meninggal dunia.

“Dalam kesaksian ibu korban mengatakan setelah melalui proses pemeriksaan yang di lakukan oleh Dr.Samuel dinyatakan pasien harus di rawat karena pasien mengalami panas ampir 39 derajat akan tetapi sekitar tgl.6 juli keluarga tidak bisa lagi menghubungi korban, setelah mendapat kabar panggilan dari pihak RS.Borromeous bahwa pasien sudah masuk ke ruang ICU. sontak keluar kaget karena sebelum nya ada beberapa lembar surat yang disodorkan kepada saksi 1(adik korban) setelah berkomunikasi dengan pihak keluarga tidak di ijinkan untuk dipasang VENTILATOR dengan petunjuk salah seorang dokter dan perawat, tanpa di baca terlebih dahulu oleh Saksi ahir nya di tanda tangani atas perintah Dokter dan perawat”, ujar saksi Lomaori Situmorang.

Johnson tetap ngotot dalam gugatan nya bahwa PMH (perbuatan melawan hukum) yang dilakukan oleh dokter RS.Borromeous dalam menangani pasien Febrianti Valentin Sianturi yaitu mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 yang menyebutkan, Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud, dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

“Klien kami tidak dimintai persetujuan tertulis maupun lisan, dimana kemudian korban Febrianti Valentin dinyatakan meninggal dunia”, ujarnya.

Sementara kuasa hukum tergugat 1 maupun tergugat 2  dari kantor hukum Kuswara S.Taryono dkk. ketika dimintai komentar nya tentang kesaksian Ibu korban dan adik korban di dalam persidangan tidak memenuhi persyaratan”, tegasnya..(Yara).

dialogpublik.com