SALAH satu sungai di Kota Bandung, yakni Sungai Cikapundung sering disebut sungai yang kotor dan debit air yang terus menipis.
Berbagai upaya tengah dilakukan oleh Pemerintah, Instansi, Komunitas, dan berbagai pihak yang peduli terhadap sungai tersebut.
Salah satunya Komunitas Serlok Bantaran Indonesia yang membuat konservasi bambu, mata air, dan ikan native di Bantaran Sungai Cikapundung. Komunitas ini berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan bersama pihak lainnya.
Founder Serlok Bantaran Indonesia, Nusep Supriadi mengatakan komunitasnya baru berdiri dua tahun. Sebelumnya ia tergabung dalam komunitas Gejebur Tubing Adventure yang sering “kukuyaan”.
Namun, karena saat ini debit air Sungai Cikapundung semakin menurun, kukuyaan tak bisa lagi dilakukan. Akhirnya komunitasnya beralih konsep menjadi pegiat konservasi sungai.
“Konservasi yang diangkat di sini itu konservasi bambu, ikan native, dan konservasi mata air. Tiga hal itu diangkat karena saling berkaitan untuk sungai ini,” katanya di Serlok Bantaran, Jalan Bukit Jarian, Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung.
Menurut Nusep, ada alasan tersendiri tiga hal itu menjadi fokus utama, seperti mata air yang juga harus dimanfaatkan masyarakat.
Bambu yang bisa menjadi penghasil, mencadangkan, dan mendistribusikan air. Serta ikan yang dulu dikenal bisa hidup di sungai Cikapundung.
Nusep mengaku metode tersebut merupakan budaya lokal yang sudah dikenal dari zaman dulu, seperti istilah “Gawir kudu diawian”.
Oleh karenanya, ia ingin mengembalikan Sungai Cikapundung kembali seperti dulu yang banyak diceritakan para orang tua.
“Mudah-mudahan ini berhasil, bukan saya yang menikmatinya tetapi anak cucu kita. Tapi program ini butuh waktu lama dan berkelanjutan di generasi-generasi. Kita berkolaborasi dengan pemerintah, swasta, komunitas, dan masyarakat,” ucapnya.
“Seperti sekarang yang terwujud berkat bantuan Pemerintah Kota Bandung melalui DPU, terutama Pak Didi Ruswandi sebagai Kepala Dinasnya. Istilahnya kami tidak bergerak sendiri, ada banyak pihak yang membantu,” lanjutnya.
*Konservasi Ikan*
Menurut Nusep, Sungai Cikapundung dulunya menjadi habitat banyak ikan-ikan sungai, seperti ikan badar, nilem, kekel, beunteur, dan lalawak.
Namun saat ini hampir semuanya sudah tidak ada di sungai, ada pun ikan yang hidup adalah ikan pendatang seperti lele yang sebetulnya menjadi predator.
Nusep menilai, ikan-ikan yang hidup di sungai bisa menjadi indikator air yang bersih, jika air kotor banyak ikan yang akan mati. Hal itulah yang terjadi di Sungai Cikapundung saat ini.
“Kalau kita banyak menaruh ikan di sungai pasti akan mati juga. Apalagi ada pembuangan limbah. Jadi di sini ada kolam ikan tujuannya untuk edukasi anak cucu kita bahwa di sungai dulunya banyak ikan seperti ini,” katanya.
“Di sini juga ada ikan mahseer atau disebut kancra atau ikan dewa yang beratnya bisa 50 kg lebih. Mudah-mudahan bisa dibudidayakan dan dibuat percontohan. Karena ikan sungai juga punya nilai gizi yang baik seperti ikan laut,” lanjutnya.
*Kawasan Konservasi*
Lokasi Serlok Bantaran juga bisa dikunjungi masyarakat. Namun Nusep menginginkan para pengunjung tidak hanya berwisata atau berswafoto saja. Dia berharap pengunjung mendapat nilai edukasi dengan mengunjungi lokasi tersebut.
“Sudah banyak yang datang ke sini, yang jelas tujuan kami minimalnya pengunjung teredukasi, ketika melihat yang ada di sini dan pulang ke rumah dapat ilmu terkait Sungai Cikapundung ini,” ucap Nusep.
“Kebetulan di sini ada ground tank air yang ditarik untuk warga sebanyak 100 rumah. Itu juga bantuan dari pemerintah sehingga konservasi mata air juga bisa dilakukan di sini,” lanjutnya.
Nusep mengungkapkan, dia juga membuat sedotan bambu. Karena awal berdirinya Serlok Bantaran beritikad untuk mengurangi limbah plastik juga. Salah satunya sedotan plastik yang hanya jadi barang sekali pakai.
“Kalau sedotan plastik bisa sampai masuk ke laut, itu bisa jadi santapan ikan. Apalagi penggunaan sedotan itu per hari bisa jutaan, itu tidak dimanfaatkan juga oleh para pemulung, mereka hanya mengambil cup-nya saja,” katanya.
“Makanya di sini membuat sedotan bambu juga, karena bambu yang melimpah kenapa tidak dimanfaatkan saja sebagai sedotan dan menjadi penghasilan,” katanya.
Nusep pun berharap Kota Bandung yang saat ini banyak pendatang tidak hanya mencari nafkah saja, tetapi ikut merawat Kota Bandung, terutama sampah yang sering ditemukannya berada di aliran sungai.
Di bantaran Sungai Cikapundung tersebut, dia berharap selain potensi wisata, harus ada nilai ekonomi dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan tersebut.
Untuk itu juga, ia mengajak semua pihak yang ingin bekerja sama melestarikan alam. Salah satunya Sungai Cikapundung agar bisa kembali bagus seperti dulu.
“Saya selalu bersilaturahmi dengan siapa pun baik pemerintah, swasta, atau siapa pun yang ingin bekerja sama. Apalagi di sini dekat dengan hulu sungai yang berada di Curug Dago,” imbuh Nusep. (agg).