KABUPATEN Bandung merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki potensi investasi cukup besar. Untuk itu, daerah yang tahun ini berusia 284 tahun, tengah gencar mempromosikan penanaman modal di tiga sektor usaha yakni; pertanian, pariwisata dan energi terbarukan atau panas bumi.
“Saat ini kita fokus di tiga sektor investasi tersebut. Untuk mengundang para investor agar mau menanamkan modalnya di Kabupaten Bandung, kita menggelar Regency Investment Summit (BRIS) di 2024. Sayangnya, untuk menindaklanjuti Investment Summit kita tidak ada anggarannya,” jelas Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP)) Kabupaten Bandung, H. Ben Indra Agusta di ruang kerjanya, Soreang, Senin (15/4/2025).
“Tetapi, melalui forum Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) kita sounding dan tawarkan beberapa proposal ternyata banyak yang berminat, diantaranya Qatar. Negara itu ingin berinvestasi di sektor panas bumi,” imbuh Ben.
Menurutnya, panas bumi di Kabupaten Bandung merupakan yang terbaik di dunia, sehingga bukan hanya Qatar yang ingin berinvestasi tetapi beberapa negara lainnya pun tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut. Rencananya, jelas Ben, para investor itu akan memanfaatkan panas bumi secara langsung (direck).
“Jadi akan dimanfaatkan secara direck untuk menghidupkan cabin yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk industri teh, strawberry serta kolam rendam air hangat dan itu dapat menyerap tenaga kerja banyak,” tuturnya.
Sebenarnya untuk panas bumi sudah banyak investor yang antri, namun itu masih tertutup karena terkait perijinannya sulit. Karena, ungkapnya, selain harus ijin ke kanwil juga dari pemerintah pusat.
“Kita harus hati-hati jangan sampai dikuasai, karena potensi panas bumi kita cukup berlimpah. Kalau Geodipa ijinnya dari Kementrian keuangan sedangkan Wayang Windu dari BUMN,” tuturnya.
Dia menegaskan, potensi investasi di Kabupaten Bandung cukup banyak, tetapi pemanfaatnya belum maksimal. Namun begitu, dari segi pelayanan perijinan di wilayah dengan 31 kecamatan ini, terbaik ke tiga di Jawa Barat setelah Cianjur dan Kota Cimahi.
Sementara itu, Ben menjelaskan, berinvestasi di Kabupaten Bandung tidak perlu takut sebab di daerah ini sudah ada kepastian hukum dengan pola ruang yang lebih clear. Hal ini, dikarenakan kabupaten yang lahir di 20 April ini, sudah memiliki kepastian tata ruang yang terbaik di Indonesia, setelah Kota Bandung. Apalagi disebagian wilayahnya bukan saja peta tata ruangnya yang clear, tetapi juga telah dilengkapi dengan rencana detil tata ruang (RDTR).
“Jadi untuk di daerah yang sudah dilengkapi RDTR proses ijinnya itu tidak akan lama, karena tidak perlu validasi atau persutujuan kita lagi, tapi hanya konfimasi saja. Untuk itu, mari berinvestasi di Kabupaten Bandung paradigmanya sudah berubah.”jelas Ben.
Selain itu, katanya, untuk mempermudah pelayanan perijinan pihkanya telah berinovasi dengan Mall Pelayanan Publik (MPP). Semua dinas yang berkaitan dengan perijinan sudah ada di mall tersebut, jadi tidak akan “dipingpong” lagi seperti dulu.
Pariwisata juga terkendala ijin
Sementara itu Ben mengatakan, para investor yang berniat menanamkan modalnya di sektor wisata juga cukup banyak, namun itu terkendal dengan perijinan. Karena jelasnya, selama ini Perutani dan PTPN hanya memiliki Hak Guna Usaha (HGU). “Dengan HGU pemerintah pusat hanya memberi ijin pada Perutani dan PTPN itu ijin usaha saja .
Tetapi ungkapnya, kondisi itu bisa berubah dengan mengajukan hak pengelolaan lahan (HPL). Alasannya, lahan yang diajukan itu sudah tidak produktif dan tidak memungkinkan lagi untuk pengembangan kebun teh, sehingga akan digunakan untuk usaha lain termasuk pariwisata.
Jika HPL nya sudah ada ujar Ben, pihakya siap menerbitkan perijinan. “Diterbitkan dulu HPL-nya baru ijin kami proses. Jangan seperti gunung es, yang akhirnya dihancurkan. Meski mereka memiki IMB tapi ijinnya terjun dia tidak HPL tetapi hanya berdasarkan pada block land, makanya berani dibongkar. Di Kabupaten Bandung saya jamin tidak ada, Pak Bupati mendorong agar mereka memlik HPL terlebih dulu,” ucapnya.
Namun ungkapnya, meski belum dilengkapi perijinan obyek wisata yang ada di wilayah Kabupaten Bandung pajaknya bisa untuk ditarik. Selama ini jelas Ben, pendapatan yang masuk dari sektor wisata Rp 150 juta pertahun, jumlah itu tidak sebanding dengan banyaknya pengunjung yang hampir mencapai 8 juta orang dalam setahun. Atas dasar itulah, Bupati Bandung Dadang Supriatna membentuk satuan tugas (satgas) pegendalian tata ruang dan perijinan karena butuh peningkatan pendapatan dari sektor wisata.
“Gebrakan itu ternyata membuahkan hasil, pendapatan dari sektor wisata saat meningkat hingga Rp 90 miliar. Untuk menggali lagi potensi, data pajak di Bappenda itu kecil, datanya lemah. Mau narik pajak gimana kalau data tidak ada, padahal banyak yang belum lapor (wajib pajak) termasuk café-café. Kalau kita minum kopi di sana, itu tidak ada pajaknya,” ucap Ben.
Jadi, untuk menambah PAD itu harus visioner, jangan nangkap ayam dalam kendang (hanya menunggu yang datang). Potensi pajak di Kabupaten Bandung itu besar, tetapi kenapa datanya minim. Ben membenarkan, jika DPMPTSP berkaitan erat dengan masalah pajak dan 80 persen itu wajib pajak. Tapi sayangnya, meskipun pajak berkaitan dengan perijinan tetapi instansinya tidak dianggap. (nk)