DPRD Kab.Bandung Terbitkan Perda Untuk Lindungi Anak

ANAK  harus dilindungi semua pihak, tidak terkecuali oleh pemerintah. Selama ini, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menjadi korban selalu perempuan dan anak-anak, bahkan peristiwa penyimpangan seksual sering kali anak menjadi sasaran.

Seperti di Kabupaten Bandung, beberapa kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak masih di bawah umur. Mereka jadi korban kebejatan moral orang-orang terdekat, karena pelakunya ada bapaknya, pamannya bahkan guru ngajinya. Tidak tanggung-tanggung, akibat kebejatan moral oknum ustad di Kabupaten Bandung, puluhan anak di bawah umur jadi korban pelecehan.

Ajaibnya, akibat dokrin dari sang guru cabul anak- anak itu enggan melaporkan perbuatan oknum tersebut, baik ke orang tuanya apalagi pada pihak berwajib. Bahkan saat oknum guru ngaji itu dijebloskan ke penjara, anak-anak itu memohon untuk dibebaskan. “Itulah yang menjadi acuan kami untuk membuat raperda pencegahan prilaku penyimpangan seksual. Raperda itu kini sudah disahkan menjadi Perda,” jelas Ketua DPRD Kabupaten Bandung, H.Sugianto di Soreang, Kamis (9/11/2023)

 Jadi jelas Sugianto, lahirnya Perda Pencegahan Prilaku Penyimpangan Seksual didsari dari rasa kekhawatiran serta aspirasi masyarakat, terkait kasus-kasus penyimpangan seksualitas yang terjadi selama ini. “Dulu kasusnya banyak, ada di pesantren dengan pelakunya ada oknum ustadz yang melakukan pelecehan seksual, Nah itu yang mendasari kita membuat Perda tersebut, khawatir dan untuk melindungi anak-anak serta perempuan,” imbuhnya.

Menurutnya, data statistik di Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung, masih terdapat sejumlah permasalahan terkait pelecehan serta penyimpangan seksualitas.

Melalui dasar tersebut, kemudian didukung oleh peraturan perundang-undangan di atasnya, Sugianto menyampaikan, pihaknya mendorong Kabupaten Bandung agar mengambil langkah preventif. “Supaya tidak terjadi penyebaran penyimpangan seksual tersebut. Nanti maksimalisasinya pertama di sosialisasi baik di eksekutifnya maupun di kami DPRD,” jelasnya

Sugianto mengungkapkan, dari hasil pengamatan serta data statistik DP2KBP3A Kabupaten Bandung, persoalan penyimpangan seksualitas tergolong jadi perhatian, sebab grafiknya sempat mengalami peningkatan. “Nanti setelah tersosialisasi ke semua komponen, karena jika Raperda ini ditetapkan maka akan dianggap seluruh masyarakat ini paham tentang substansi Raperda tersebut,” ungkapnya.

Politisi Partai Golkar ini memaparkan, pihaknya juga mendorong agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung turut merealisasikan, melalui terbitnya Peraturan Bupati (Perbup). “Karena Perbup ini adalah aturan operasional yang akan nanti lebih teknis menyentuh kepada seluruh komponen masyarakat,” paparnya.

Dia  berharap, dengan upaya Raperda yang dirancang terkait penyimpangan seksualitas hingga ditetapkan jadi Perda itu, bisa menjadi rambu-rambu bagi para pelaku agar kasus-kasus dapat tercegah dan diminimalisir.

“Bahwa hukum konfensional, sesungguhnya kalau kita sadar hukum agama ini lebih dulu lahir dan itu jadi sebuah keyakinan, dogma kita sebagai umat Islam,” imbuhnya.

Legislator asal dapil l ini menjelaskan, berangkat dari aturan hukum konfensional tersebut, diformalkan dengan Perda maka bisa lebih cepat reaksinya, dalam mencegah perbuatan-perbuatan terkait penyimpangan seksual. “Karena Perda ini nanti tindakan formalnya bisa dilakukan yaitu melalui peran Satpol PP, misalkan ada indikasi pergaulan bebas di sini Satpol PP bisa bereaksi lebih cepat sebagai penegak Perda kalau hukumnya formal,” terangnya.

Osin Permana

Akan tetapi, Sugianto berujar, peran masyarakat sekitar pun tak dapat dipungkiri menjadi faktor penting, dalam pencegahan perilaku penyimpangan seksual. “Tokoh masyarakat punya peran penting memberikan contoh dan edukasi bagi warga sekitar, untuk bisa melakukan pencegahan serta memberikan perlindungan bagi perempuan juga anak-anak,” ujarnya.

Sementara Anggota DPRD, Osin Permana menegaskan, penyimpangan seksual itu artinya luas tidak sebatas pelecehan yang dilakukan oknum tidak bertanggungjawab, tetapi LGBT pun termasuk didalamnya.  “ Kalau pelecehan tidak bisa dikatakan penyimpangan, itu akan terjadi nelanggar hukum jika korbannya merasa tidak suka, tetapi jika suka sama suka bukan pelecehan,” jelasnya.

Tetapi jelasnya, dengan adanya perda mudah-mudahan saja bagian  dari ihtiar, karena untuk meminimalisir prilaku penyimpangan seksualitas tidak cukup dengan Perda, tetapi harus dimuali dari lingkugan keluarga, pendidikan serta  masyarakat.

Keua Fraksi Demokrat ini berpendapat, meski sudah disosialisasikan Perda itu belum menjamin orang untuk tidak berbuat penyimpangan seksual, hal itu terjadi akibat manusianya kurang iman. “Jadi sosialisasikan di keluarga dan lingkungan masyarakat, agar meningkatkan keimanan dan ketaqwaaanya terhadap Allah S.W.T. Sebab kalau imanya kuat pasti hal itu tidak akan dilakukan,” ujarnya.

 Dia menjelaskan,  Perda itu hadir untuk  mensisati dan meminimalisasi pratek-prakter penyimpangan seksualitas. (nk)