DPRD Kabupaten Bandung mendorong kenaikan anggaran Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) hingga 50 persen. Naiknya anggaran pesta demokrasi tingkat desa itu, berdasar dari ajuan Dinas Pemberdayaan Masyaraat dan Desa (DPMD) yang menyebutkan, penyebab munculnya persoalan Pilkades serempak 2019 diantaranya anggarana yang minim.
“ Jika munculnya persoalan pilkades itu dikarenakan anggaran yang kurang, dewan akan mendorong untuk adanya penambahan. Kenaikan anggaran tersebut, diajukan dalam APBD 2021 yang akan dibahas tahun ini” jelas Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Bandung Aep Dedi, Selasa (4/2/2020) di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Namun ujarnya, dari awal dewan sudah memprediksi, pasca pelantikan kepala desa (kades) terpilih persoalan akan muncul. Seperti di Desa Haurpugur dan Rancaekek Kulon, Kecamatan Rancaekek, yang menuntut Pemungutan Suara Ulang (PSU), Itu wajar dalam sebuah demokrasi. Persoalan pilkades muncul jelas Aep, disebabkan pelaksanaannya yang belum sempurna, baik sisi anggaran maupun regulasinya.
“Pilkades kemarin berjalan nyaris kondusif, setelah pelatikan muncul persoalan. Kan ada kades yang ingin kabinetnya diganti, tetapi regulasi tidak membolehkan. itu persoalan. Tidak cukup sampai di situ, ada yang sampai ke pengadilan, putusannya sudah turun tapi eksekusinya susah, dan kami dari DPRD sudah memprediksinya,” imbuhnya.
Tetapi pelaksanaan pilkades serentak akan terus dibenahi, terutama anggaran dan regulasi. Untuk Pilkades 2021, dewan mendorong kenaikan anggaran hingga 50 persen, dari Rp 10.000 per hak pilih naik menjadi Rp 15 ribu. “ Kita mendorong kenaikan anggaran, karena saat dengar pendapat dengan DPMD, katanya biaya Pilkades kemarin masih kurang dan itu salah satunya yang jadi pemicu persoalan,” paparnya.
Aep menegaskan, pesta demokrasi tingkat desa itu bisa berjalan mulus, jika dalam pelaksanaan dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tertib. Tapi ujarnya, kasus di Panundaan, Pasirjambu bukan karena pilkades tetapi soal penggunaan angaran. Jadi dewan menyarankan pada insektorat untuk menyiapkan tenaga auditor di kecamatan-kecamatan, apalagi kades terpilih rata-rata bukan incumbent. Sisi pengawasan dan regulasi lebih diperketat. jadi DPMD harus mebintek kades maupun perangkatnya yang baru.
“Perangkat desa yang baru kan ega ngerti harus bekerja apa, serta apa yang mesti disiapkan. Kordinasi dengan BPD dan LMD harus seperti apa dia tidak ngerti. Jika itu dibiarkan bisa celaka, apalagi harus mengelola Dana Desa (DD) dan ADPD. Jadi yang dibintek itu bukan hanya kadesnya, tetapi juga perangkatnya,” kata Aep.
Dalam sebuah demokrasi, baik tingkat nasional dan regional, seperti di desa tidak mungkin berjalan mulus 100 persen, pasti ada ketidak puasan dan kelehaman dari. Biasanya selain anggaran, sosialisasi selalu menjadi sorotan. Sehingga ke depan DPMD jika mensosialisasikan aturan Pilkades, tidak cukup di kecamatan, tapi harus lebih mendalam dengan melibatkan tokoh masyarakat, RT dan RW nya pun harus dilibatkan. “ Untuk anggaran sosialisasi bisa diajukan, kita juga akan menyetujuinya. Asal penggunaan anggaran itu jelas dan tepat sasaran,” tuturnya. (nk)